Dalam masalah ini, kami jawab dengan tiga pendekatan;
Pendekatan Pertama
Perlu kita pahami bahwa al-Quran turun dengan bahasa Arab. Karena itu, setiap kata yang ada dalam al-Quran, tidak boleh kita pahami dengan pendekatan bahasa kita, Bahasa Indonesia. Karena akan memberikan kesimpulan yang berbeda.
Untuk kata ganti pertama tunggal seperti “Huwa/Dia” atau “Ana/Aku” untuk mewakili zat-Nya, hal ini tentu sudah maklum karena semua kata ganti itu merujuk pada ketunggalan atau keesaan.
Sementara kata ganti orang pertama jamak seperti “Nahnu” merujuk pada jumlah yang banyak sehingga tidak bisa mewakili zat-Nya Yang Esa. Penjelasan ini tentu merujuk pada kaidah umum bahasa Arab.
Pendekatan Kedua
Para ulama menjelaskan penggunaan kata ganti jamak orang pertama untuk Allah sebagai bentuk pengagungan diri atau sebentuk pertunjukan kuasa-Nya. Hal ini bisa dilihat ketika para ulama menjelaskan Surat Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi:
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ
(Dan ingat ketika Kami mengatakan kepada para malaikat, “Sujudlah kepada Adam”).
وقال” قُلْنا” ولم يقل قلت لان الجبار العظيم يخبر عن نفسه بفعل الجماعة تفخيما وإشادة بذكره
Artinya, “Kata ‘Kami katakan’, bukan ‘Aku katakan’ digunakan karena Allah membahasakan dirinya dengan kata plural atau jamak sebagai bentuk pengagungan dan penyanjungan diri,” (Lihat Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, dalam Al-Jami‘ li Ahkamil Qur‘an, 1/433).
Kata ’kami’ dalam bahasa Arab, tidak selalu menunjukkan kata ganti orang pertama jamak. Kata ’kami’ dalam bahasa arab juga digunakan untuk mengagungkan (ta’dzim) orang yang berbicara.
Pernyataan yang sama dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah;
فالله سبحانه وتعالى يذكر نفسه تارة بصيغة المفرد مظهراً أو مضمراً، وتارة بصيغة الجمع كقوله: “إنا فتحنا لك فتحاً مبيناً ” وأمثال ذلك. ولا يذكر نفسه بصيغة التثنية قط، لأن صيغة الجمع تقتضي التعظيم الذي يستحقه ، وربما تدل على معاني أسمائه، وأما صيغة التثنية فتدل على العدد المحصور، وهو مقدس عن ذلك
Allah ta’ala menyebut dirinya dengan kata yang bermakna tunggal, baik dengan kata ganti tunggal atau dengan menyebut namanya. Dan terkadang, Allah menyebut dengan bentuk jamak, seperti firman-Nya,
إنا فتحنا لك فتحاً مبيناً
“Sesungguhnya Kami akan memberikan kemenangan yang nyata bagimu.” (QS. Al-Fath: 1)
Atau yang semisal dengan ayat di atas.
Dan Allah tidak pernah menyebut dirinya dengan kata yang menunjukkan makna ganda, sama sekali. Karena bentuk jamak memberikan makna pengagungan (ta’dzim), yang Dia berhak untuk menyandangnya.
Dan terkadang menunjukkan makna-makna nama-Nya. Sementara kata yang bermakna ganda, kata itu menujukkan bilangan tertentu, dan Allah Maha Suci dari pembatasan bilangan ini. (lihat Aqidah at-Tadmuriyah, hal. 29).
Pendekatan Ketiga
Dalam bahasa Indonesia, kata ’kami’ juga digunakan untuk selain makna jamak.
Dalam pidato resmi, pak RT, pak Lurah, ketua takmir, sering kali menggunakan kata ini. ’Kami selaku ketua RT’, ’Kami selaku ketua takmir masjid…’ dst. Padahal kita tahu, Pak RT hanya satu, Pak Lurah juga satu, ketua takmir juga satu.
Dan jika kita perhatikan, makna kata ’kami’ dalam bahasa Indonesia, berbeda dengan makna kata ’kami’ dalam bahasa Arab. Orang yang berbicara menggunakan kata ’kami’ justru untuk menunjukkan kerendahan hati. Sebaliknya, ketika pidato, mereka menghindari kata ’Aku’, karena kata ini terlalu menonjolkan dirinya.
Coba kita bandingkan dua kalimat berikut:
”Kami selaku Kepala kantor , …”
”Aku, selaku Kepala Desa , …”
Kalimat pertama mengesankan kerendahan, dan kalimat kedua mengesankan keakuan condong pada keangkuhan.
Berbeda pada kata ganti tunggal jamak dalam bahasa Arab, fungsinya adalah untuk pengagungan, dan hal ini tentunya memilki rasa yang berbeda dengan bahasa kita.
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar